IJTIHAD
A. Pengertian
Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk menetapkan hukum syariah melalui metode tertentu. Ijtihad dilakukan ketika menghadapi persoalan yang sulit dan tidak disebut ijtihad jika tidak ada kesulitan di dalamnya. Secara bahasa, dalam Al-Qur’an kata "jahda" bermakna pengarahan seluruh kemampuan dan kekuatan (badl al-wus‘ wa al-thaqah) atau bisa juga berarti berlebih-lebihan dalam sumpah (al-mubalaghah fil al-yamin), seperti disebutkan dalam Q.S. an-Nahl: 38, Q.S. an-Nur: 53, dan Q.S. Fatir: 42.
Menurut Imam Al-Ghazali, ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum-hukum syariah. Hukum yang dihasilkan dari ijtihad bersifat zanni (dugaan kuat) yang memungkinkan adanya kesalahan. Dalam ushul fiqh, ijtihad merupakan metode untuk menggali hukum Islam melalui kemampuan maksimal seorang mujtahid.
Artinya: "Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid) untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar'i
B. Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
Ijtihad adalah kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid untuk menggali hukum syariah, khususnya dalam perkara yang bersifat zhanni, yaitu hal-hal yang belum jelas dalilnya dalam Al-Qur’an dan Hadis. Para ulama membagi hukum ijtihad menjadi tiga:
1. wajib ‘ain, bagi orang yang menghadapi peristiwa langsung atau dimintai fatwa dan khawatir peristiwa itu akan berlalu tanpa kepastian hukum
2. wajib kifayah, jika masih ada mujtahid lain dan tidak semua harus melakukannya, namun jika tidak ada yang berijtihad maka semuanya berdosa; dan
3. Sunnah, jika ijtihad dilakukan terhadap peristiwa yang belum atau tidak terjadi. Ketiga kategori ini menunjukkan pentingnya ijtihad dalam mendinamiskan hukum Islam dan memperbaiki kekeliruan ijtihad terdahulu. Ijtihad juga merupakan bentuk pembaruan hukum dalam menghadapi persoalan baru yang belum pernah dibahas oleh ulama sebelumnya. Namun, hasil ijtihad baru tidak selalu menggantikan yang lama, karena ada kalanya hasilnya sama atau berbeda tetapi tidak membatalkan ijtihad sebelumnya, sesuai kaidah fikih “al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi.”
Urgensi ijtihad juga terlihat dari fungsinya: al-ruju’ (mengembalikan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan Sunnah), al-ihya’ (menghidupkan kembali semangat Islam untuk menjawab tantangan zaman), dan al-inabah (membenahi ijtihad lama sesuai konteks baru). Karena itu, jumhur ulama menjadikan ijtihad sebagai hujah dalam menetapkan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa’ ayat 59 yang memerintahkan agar setiap perselisihan dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
C. Syarat-syarat Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid dan tidak semua orang bisa melakukan ijtihad akan tetapi harus memenuhi beberapa sarat.
Muhammad Musa mengelompokkan syarat-syarat mujtahid menjadi empat kelompok yaitu:
1) Syarat-syarat umum, diantaranya:
a) Baliqh
b) Berakal
c) Sehat jasmani dan rohani
d) Kuat daya nalarnya
e) Bener-bener beriman
2) Syarat-syarat pokok, diantaranya:
a) Memahami tentang Al-Qur'an.
b) Mengerti tentang sunah
c) Mengetahui ilmu Dirayah Hadis.
d) Mengetahui Hadis yang nasikh dan mansukh.
e) Mengetahui maksud-maksud hukum.
3) Syarat-syarat penting, diantaranya:
a) Menguasai bahasa Arab.
b) Mengetahui Asbabun Nuzul
c) Mengetahui Ushul Figh.
d) Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya.
4) Syarat-syarat pelengkap, diantaranya:
a) Mengetahui Asbabul Wurud Hadis. Syarat ini sama dengan seorang Mujtahid yang seharusnya menguasai Asbabun Nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokasi, serta tempat Hadis tersebut ada.
b) Mengetahui hal-hal yang di-ijmakkan dan yang di-ikhtilafkan. Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.
c) Bersifat adil dan taqwa. Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh Mujtahid benar-benar proporsional kare memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinb hukumnya.
D. Masalah-Masalah Ijtihadiyah
Tidak semua masalah hukum dapat diijtihadkan. Ijtihad hanya berlaku pada wilayah tertentu. Hal-hal yang tidak boleh diijtihadkan antara lain:
1. Masalah qath'iyah, yaitu hukum yang sudah pasti berdasarkan dalil naqli (wahyu) atau aqli (akal), seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji. Hukum ini bersifat tetap dan tidak bisa diubah, sehingga tidak ada ruang ijtihad. Ijtihad juga gugur jika bertentangan dengan nash (teks dalil yang tegas).
2. Masalah yang sudah menjadi ijma' (kesepakatan) para ulama mujtahidin di masa tertentu.
3. Masalah ta'abbudi atau ghairu ma'qulil ma'na, yaitu hukum yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan tidak diketahui illat (alasan hukumnya).
Sedangkan masalah yang dapat diijtihadkan adalah masalah dzanniyah, yaitu masalah yang dalil hukumnya tidak jelas, sehingga memungkinkan adanya perbedaan pendapat.
Masalah dzanniyah terbagi menjadi dua:
1. Masalah teologis yang tidak berkaitan dengan aqidah, seperti perdebatan apakah Allah wajib berkehendak atau tidak.
2. Aspek amaliyah yang dzanni, yaitu persoalan yang tidak disebutkan secara tegas dalam nash, seperti batasan menyusui yang menyebabkan mahram (ada yang berpendapat sekali, tiga kali, atau sepuluh kali susuan).
E. Penyebab Terjadinya Perbedaan Ijtihad
Hal yang dapat menyebabkan perbedaan ijtihad, karena perbedaan dalam memahami nash dan dalam menyusun metode ijtihad yang didasari sosio-kultural dan geografis mujtahid. Adapun sebab pertama itu adalah, karena perbedaan dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadis. Misalkan dalam Al-Qur'an terdapat kata quru. Sebagian ulama' ada yang mengartikan haid dan sebagian yang lain ada yang mengartikan suci.
1) Berbeda tanggapan terhadap Hadis. Haliniterjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Sehingga, ada beberapa ulama yang berbeda dalam mengkategorikan bahwa suatu hadits tersebut dimasukkan ke dalam hadis shahih, hasan, maupun dha'if. Konsekuensinya, kehujjahannya pun akan berbeda satu sama lainnya.
2) Berbeda tanggapan tentang ta'arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil lainnya) seperti: Tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya.
3) Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum. Perselisihan para mujtahid mengenai ilat ('illah) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan hasil ijtihad.
4) Dari beberapa sebab perbadaan diatas pada perinsipnya disebabkan karena berbeda dalam memahami nash dan metode pengambilan hukum yang dikarenakan sosio-kultural dan georafisnya.
F. Bentuk- Bentuk Ijtihad
Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut:
a) Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan mujtahid tentang hukum syara' dari suatu peristiwa setelah Rosul wafat. Sebagai contoh adalah setelah rasul meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan kholifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama.
b) Qiyas
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Contoh narkotika diqiyaskan dengan meminum khmar.
c) Maslahah mursalah.
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana syar'i tidak mensyariatkan sutau hukum ntuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya. Contoh kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian, memungut pajak.
d) Urf
Urf menurut bahasa berarti kebiasaan. Sedangkan menurt istilah sesuatu yang telah dikenal orang banyak dan menjadi tradisi mereka dan tentunya tradisi disini adalah kebiasaan yang tidak dilarang. Contoh: saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa ad sighot lafdliyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar